Akrilik saya habis.
Sementara hari ini saya perlu ngebut membuat ilustrasi. Besok sudah harus dikumpul lengkap menjadi sebuah display. Benar-benar sebuah pekerjaan yang menguras tenaga. Apa boleh buat, duit mengalir lagi. UTS harus dibela-belain, karena ancamannya adalah tidak lulus dan mengulang tahun depan.
Tapi kabar paling buruk adalah…. harga akrilik naik nyaris 2 KALI LIPAT dibanding setahun lalu! 😐 Kalau biasanya dengan uang 60 ribu saya sudah bisa bikin gambar ukuran A2, sekarang paling tidak keluar 100 ribu. Akhirnya karena pertimbangan masih banyak keperluan lain, saya beli saja yang isi mungil, 12 warna. Dengan tambahan kuas, palet, dan kertas, habis sudah uang seratus ribu yang saya pikir harusnya bersisa. *sigh
Saya pusing, harga cat meroket, sementara di surat kabar pemerintah berkoar-koar ingin memajukan industri kreatif. Katanya berambisi meniru Inggris yang sukses menjadikan industri ini sebagai pemasukan devisa yang lumayan besar. Lah mana bukti omong besarnya itu? Buku-buku referensi budaya dan seni tetap saja mahal, tak ada yang di bawah 100 ribu.
Saya pikir salah besar kalau ada yang menganggap industri kreatif itu berarti bisa menghasilkan duit banyak dengan modal cuma Rp. 0,0. Salah besar kalau industri kreatif dianggap cuma berhubungan sama ide-ide baru setiap hari. Industri kreatif itu dunia penuh resiko. Hitung-hitungan duitnya harus kencang. No pain, no gain.
Lah gimana ini, pengen masyarakatnya hidup dari dunia kreatif, tapi kerjaannya cuma mencekik. Mungkin tak masalah kalau impotentak punya kemampuan buat mensubsidi. Lah tapi di sisi lain hobinya merecoki dengan peraturan moral yang aneh-aneh. Sudah itu kalau mau beli produknya tak pernah mau menghargai, pengennya murah meriah bak kacang goreng. Kalau pengen tampil perlente, kerjaannya cari bajakan di mal-mal.
Industri Kreatif atau Kere-Aktif nih, Pak?