Kali ini di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki. Pameran Sabang Merauke: Pamer Seni Lukis Memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Seperti biasa saya lebih senang komentarin makanannya, hehehehe. Ada lontong sayur labu pakai ayam dan telur, sedaap. (Kayanya pembukaan pameran bisa jadi alternatif perbaikan gizi bagi anak kos selain pura-pura jadi tamu kondangan, hehehe).
Seperti biasa lagi, ada kesan mahasiswa dan anak-anak muda kurang diperhatikan dalam sebuah pameran. Kalau dalam pameran CCF kemarin katalog hanya diberikan kepada wartawan, maka sekarang lebih aneh lagi, katalog hanya untuk para undangan (ups!). Lah saya bingung, sejak kapan seni rupa menjadi sesuatu yang tidak egaliter lagi? Jangan-jangan mulai besok untuk masuk pameran harus pake dresscode segala? 😆
Katalog itu kan sesuatu yang sebenarnya lebih dibutuhkan mahasiswa. Secara mereka kalau di pameran sering dicuekin. Seniman dan penyelenggaranya lebih senang bercakap-cakap dengan calon pembeli. (ups maaf, maksudnya pengunjung yang terlihat lebih rapi). Sementara wartawan? Waduh.. dikasih katalog akhirnya kerjaan mereka malah sekedar numpang makan, bikin beritanya tingga kopi paste katalog itu saja. Padahal yang bener kan kalau mereka bikin berita mendaam, salah satunya dengan wawancara. Lah mahasiswa? Mau cari informasi bagaimana kalau minta katalog saja tidak boleh?
Teman saya pernah mencak-mencak soal ini. Sementara saya lebih senang meneliti dari jauh, tak usah banyak protes. Biarkan saja fenomena seperti ini berkembang, siapa tahu bisa jadi bahan tulisan di blog, hehehe.
Kebetulan ada tugas memperhatikan fenomena di sekitar Taman Ismail Marzuki untuk kuliah Bimbingan Penulisan besok. Saya pikir ini bisa jadi topik menarik. Mulai dari mana yahhh…? Seni “murni” dan stratifikasi sosial? Hmmm….
Lanjutkan membaca ‘Pameran Lagi’