Saya bukan ahli agama, tapi salah satu kerancuan besar dalam agama Islam pola pikir pemeluk Islam yang saya temukan adalah ini:
Perkara X besar mudharat daripada manfaatnya, karena itu kalian tidak boleh melakukan hal tersebut.
Masalahnya manfaat dan mudharat sama saja seperti mengangkat ukuran bagus-jelek. Ia adalah nilai yang tidak bisa diukur, sebab setiap orang punya meterannya sendiri-sendiri yang sangat subjektif.
Contoh saja bagi orang kaya uang 5000 rupiah tidak banyak bermanfaat . Bagi orang miskin yang belum makan 5 hari, 5000 rupiah banyak sekali manfaatnya untuk menyambung hidup. Maka bagi orang kaya tak banyak manfaatnya mencuri 5000 rupiah dibanding tertangkap polisi. Sementara bagi si miskin, biarlah tertangkap polisi daripada mati kelaparan besok hari. Maka berdasarkan ukuran mudharat versus manfaat di atas, buat si kaya mencuri itu perkara haram, buat si miskin itu perkara halal.
Bingung, kan?
Usul saya, manfaat dan mudharat dijadikan ukuran masing-masing orang saja. Hentikan mendebat sesuatu berdasarkan hitung-hitungan manfaat dan mudharat, apalagi memaksa orang lain untuk mengikutinya. Sebab kita tak pernah paham apa yang jadi mudharat buat orang lain, dan apa yang bermanfaat baginya.
Singkatnya, biarlah masalah iman keluar dari persoalan matematika.